Di antara kumpulan istilah tasawuf yang berlaku di kalangan kaum sufi adalah dzauq (rasa) dan syarab (minum). Istilah ini mereka gunakan untuk mengungkapkan buah tajalli (penampakan sifat-sifat dan Nama-Nama Tuhan) dan nilai-nilai kasyaf (ketersingkapan tabir misteri ke-Maha mutlak-an Tuhan) Serta kehadiran kejutan-kejutan yang muncul-spontan. Dalam proses penapakan pencarian hakikat dari aspek ini, tahapan pertama adalah dzauq, kemudian syarab, dan akhirnya irtiwa’ (minum sepuas-puasnya).
Kejernihan perilaku salik mengharuskan pelakunya memperoleh dzauq (merasakan kelezatan) makna-makna. Ketepatan pemenuhan atas manazilat (maqam, pos-pos spiritual atau tahapan-tahapan pencapaian makna spiritual, seperti ketepatan pemenuhan pencapaian maqam dzauq) mengharuskan pelaku memperoleh syarab, dan keberlangsungan yang terus-menerus dalam meminum kandungan makna spiritual (syarab yang sambung- menyambung) memastikan pelakunya memperoleh irtiwa’.
Salik yang mengalami dzauq adalah “pemabuk” yang pura-pura. Salik yang mengalami syarab adalah “pemabuk” yang sesungguhnya. Dan, salik yang mencapai irtiwa’ hakikatnya orang Yang “sadar”. Barang siapa kuat cintanya (pada Allah), maka syarab-nya akan berlangsung secara terus-menerus. jika sifat ini Yang dimotori kekuatan cinta yang bekerja secara aktif, maka syarab (minuman cinta) tidak akan membuatnya mabuk.
Salik yang telah mencapai tingkatan ini, akan selalu dalam kondisi sadar (tidak mabuk) bersama Al-Haqq dan fana’ (lenyap atau tidak terpengaruh sama sekali) dari semua yang bersifat eksis, status, atau nasib keduniaan. Dia tidak akan terpengaruh oleh apa yang datang kepadanya dan tidak berubah dari sesuatu yang dia bersama-Nya. Barangsiapa sirri-nya (sesuatu yang bersifat rahasia) jernih, maka syarab tidak akan mengeruhkan dirinya. Barangsiapa syarab telah dijadikan makanannya, maka dia tidak akan mampu bertahan kecuali dengannya dan tidak bisa stabil (sadar atau tidak mabuk) dengan tanpa kehadirannya (syarab). Mereka bersyair:
Arak adalah minuman kami
jika kami belum merasakannya
kami tidak mungkin bisa hidup
jika kami belum merasakannya
kami tidak mungkin bisa hidup
Saya heran terhadap orang yang mengatakan aku ingat Tuhanku mengapa saya lupa lalu
saya mengingatkannya
tentang apa yang saya lupakan saya minum cinta
segelas demi segelas
minuman tidak juga habis
dan saya belum juga merasa puas
saya mengingatkannya
tentang apa yang saya lupakan saya minum cinta
segelas demi segelas
minuman tidak juga habis
dan saya belum juga merasa puas
Yahya bin Mu’adz pernah menulis sepucuk surat kepada Abu Yazid Al-Busthami. Isi suratnya sebagai berikut:
“Ya, di sinilah! Dari minum segelas cinta, sesudahnya tidak akan merasa haus lagi.”
“Ya, di sinilah! Dari minum segelas cinta, sesudahnya tidak akan merasa haus lagi.”
Kemudian Abu Yazid membalasnya:
“Dari sinilah, saya heran atas kelemahan keadaanmu, orang yang meminum lautan (cinta) alam. Dia selalu membuka mulutnya lebar-lebar meminta tambah minuman.”
“Dari sinilah, saya heran atas kelemahan keadaanmu, orang yang meminum lautan (cinta) alam. Dia selalu membuka mulutnya lebar-lebar meminta tambah minuman.”
Ketauhilah, sesungguhnya gelas-gelas (minuman atau syarab yang menjadikan) keterdekatan tampak dari yang gait, dan tidak akan berputar kecuali di atas rahasia-rahasia gigitan, dan ruh dari kelembutan sesuatu terbebaskan.
0 Komentar
Jika artikel ini bermanfaat silahkan share di media sosial kalian, dan berkomentarlah dengan komentar yang sopan, terimakasih